Riwayat Sebuah Kursi
Bukankah ia hanya sebuah kursi yang telah usang usianya. Namun mengapa
kursi itu banyak orang yang memperebutkan. Bahkan banyak nyawa yang melayang. Hilang.
***
Sejak zaman kolonialisme penjajahan pun kursi itu telah menjadi
rebutan, bahkan hingga kini. Aku sendiri tak paham bagaimana kursi itu bisa
memukau setiap pihak untuk memperebutkannya. Sampai beberapa nyawa sudah
melayang dan hilang. Juga saling terkam layaknya serigala berburu domba.
Kursi yang Aku rasa hanya sebuah tempat duduk biasa. Itu layaknya
sebuah barang keramat yang dijaga ketat. Barang siapa yang tidak diberi izin
berani mendudukinya bakal akan ada sebuah fenomena besar yang akan mengguncangnya.
Ia akan dilengserkan secara pakasa. Buktinya ketika waktu itu, seorang Panglima
yang sudah menduduki kursi itu selama tiga dasawarsa terpaksa dilengserkan karena
izin itu sudah habis masanya. Ketika ia mau meminta izin kembali, ia ditolak
mentah-mentah.
Aku sendiri tak habis pikir dengan kursi itu, bagaimana satu kursi
bisa menyebabkan orang saling emosi dan puluhan nyawa mati. Mereka bertindak
layaknya preman pasar yang memalak para pedagang-pedagang kecil di pasar yang
setiap hari bersusah payah mencari sejumput rizki.
Ah, kenapa pula aku berpikir tentang kursi itu. Mengapa juga aku
ada rasa untuk menduduki kursi itu. Bisa-bisa nyawaku sendiri melayang hanya
karena menduduki kursi itu.
***
Saat kursi itu tak ada yang menduduki, ada seseorang yang meminta
izin untuk menduduki kursi itu. Tetapi penjaga kursi itu bilang, berani berapa
kamu mau bayar kursi ini. Kalau kamu berani bayar lebih dari seorang yang
datang tadi pagi. Baru aku kasih kamu izin untuk menduduki kursi ini.
Anehnya, orang itu pun mau. Ia berani membayar mahal kursi itu
untuk hanya sekedar duduk ongkang-ongkang dikursi yang sudah
berusia ratusan tahun yang telah
berlalu.
“Lelaki yang tolol, macam apa dia, mau-maunya saja.” Umpatku.
Namun, beberapa bulan kemudian. Lelaki itu diusir untuk turun dari
kursi yang sudah dibelinya mahal-mahal.
“Turunkan dia!”
“Dasar pembohong, maling kelas kakap.”
Begitulah bunyi teriakan para kelompok masa yang menginginkannya
turun. Lelaki itu, dengan tegas berkata.
“Saya mau turun asalkan uang saya dikembalikan. Karena saya sudah
bayar kursi ini.”
Semua kelompok demonstran tadi terperangah. Mereka tak mampu
berucap lagi. Mereka terdiam tanpa kata. Lalu membubarkan diri layaknya anak
ayam yang ditinggalkan induknya pergi.
***
Namun beberapa bulan berikutnya, lelaki itu diusir dari kursi tua
yang menjadi impiannya.
“Kenapa saya diusir?” Kata lelaki itu agak marah.
“Kursi ini telah di beli seorang janda keturunan raja, yang lebih
kaya dari kamu.” Jawab penjaga kursi tua itu.”
Lelaki itu mukanya merah padam. Ia tak terima dipermalukan hanya
karena kalah taruhan.
“Tidak bisa, ia harus bayar saya juga.”
“Kenapa? Anda kan sudah tidak berhak menduduki kursi ini lagi.”
“Saya yang lebih dulu membeli kursi ini, bukankah kursi ini telah
saya beli lebih dulu dengan perjanjian yang kita sepakati.”
Lelaki penjaga kursi kebingungan untuk mengusirnya. Hanya dengan
membeli masa ia dapat mendepaknya dari kursi itu.
Keesokannya benar terjadi, lelaki itu didepak oleh banyak masa.
Lelaki itu ketakutan setengah mati. Karena masa yang dikerahkan bukan
main-main. Mereka ada yang membawa golok, pukul, bensin yang mungkin untuk
membakarnya jika menolak. Ia ketakutan setengah mati.
***
Sekarang perempuan janda keturunan raja kayalah yang menggantikan
lelaki tua itu. Ia duduk dengan senyum yang mengembang di wajahnya karena
berhasil menggulingkan lelaki tersebut.
Ia bahagia dengan pencapaian yang didaptnya untuk menduduki kursi
yang keramat itu. Ia merasa bahwa kursi itulah sebuah kemenangan yang ditunggu
setiap orang. Dengan menduduki kursi itu, ia merasa hidupnya lebih terpandang.
“Jika ada yang berani menduduki kursi ini tanpa sepengetahuan saya,
akan saya bunuh. Apalagi ia yang berencana merebutnya dari saya.”
Wanita itu berkata lantang.
Semua lelaki yang menjadi bawahannya tercengan. Bergetar. Seluruh
orang yang berada dalam ruangan berdiri terhenyak.
Semua bawahannya tak diberi kesempatan untuk duduk bersanding
dengannya. Ia telah telah bersumpah serapah. Semua anggotanya pun takut
kengerian.
***
“Siapa yang berani mencuri kursi saya” teriak wanita janda.
Semua anggotanya berkumpul untuk melihat kejadian yang telah
terjadi. Semua terhenyak, melihat kursi duduk bosnya tak ada di tempat. Mereka
berbisik-bisik, ada yang ketakutan setengah mati melihat bosnya membara api.
Terbakar amarah.
“Cepat cari tahu siapa yang berani mencuri kursi keramat saya ini.”
“Siap bos” jawab anak buahnya tidak kompak.
Mereka mencari kemana-mana kursi itu, di kota, luar kota, luar
propinsi, luar pulau semua dicarinya.
“saya menemukan kabar bos, bahwa yang mencuri kursi keramat itu
adalah lelaki yang kita lengserkan dulu.”
Wanita janda itu marah bukan main. Ia menyuruh anak buahnya
berkumpul dan siap untuk menyerbu tempat tinggal lelaki itu.
***
Ternyata, di tempat lelaki itu juga sudah mengumpul anak buahnya
yang berpakaian preman-preman dan banyak sekali.
“Majuuuu.....”Teriak lelaki itu.
“Gempur, bunuh mereka semua, jangan beri ampun.” Perinta wanita
janda itu.
Semua berperang, semua darah mengalir menjadi banjir. Banyak mayat
yang bergeletakan. Entah sampai kapan perang seperti ini akan berakhir. Hanya
demi sebuah kursi tua yang tak berarti ini. Dan semua menjadi gelap karena
darah.
Pati-Yogyakarta, 2013
Comments