Esai Saifur Rohman
Budaya Ketupat
(Kompas, 19 September
2009)
Fenomena
kebudayaan Indonesia mendapati kekhasan dalam ketupat. Karena ketupat, ritual
keagamaan tidak lagi persoalan hukum agama, tetapi telah merasuk pada
kebiasaan, pranata sosial, hingga instrumen komunikasi virtual maupun aktual.
Seorang
sarjana bidang kajian budaya tidak dapat dikatakan paham secara emik latar
masyarakat Indonesia jika tidak mampu membelah makna ketupat. Persoalan yang
dihadapi para ahli, seberapa jauh makna ketupat relevan dalam pembentukan
kebudayaan Indonesia modern?
Selama ini,
kita baru tahu dari kajian antropologi struktural Claude Levi-Strauss tentang
hubungan makanan dan kebudayaan. Buku Myth and Meaning (1978) mampu menjelaskan
hasil-hasil kajiannya tentang kode-kode kebudayaan melalui makanan tertentu
yang dipilih sebuah suku. Raymond Thallis (1996) meneliti hubungan antara
makanan, pembentukan kosakata, dan identitas kebudayaan.
Sebagai
contoh, dibandingkan dengan Barat yang minim, kekayaan kosakata untuk buah
kelapa kecil sampai tua menunjukkan, kebudayaan Indonesia amat terkait dengan
lingkungan pantai tempat pohon kelapa tumbuh.
Fase kehidupan
Berdasar
perspektif itu, tidak sulit dipahami adanya menu makanan yang berbeda untuk
mengenang aneka peristiwa penting dalam hidup manusia. Kelahiran bayi ditandai
menu makanan dari dedaunan hijau dan biji-bijian. Bayi itu tumbuh dan saat
menyelesaikan hal-hal penting dalam fase kehidupan, acara selamatan akan
digelar dengan menu makanan yang berasal dari pasar. Masyarakat kebanyakan
menyebut jajan pasar.
Saat
dewasa, seorang individu menyatakan lamaran dengan bahan makanan yang penuh
simbol. Tebu, hasil palawija, kelapa, dan makanan pokok ditata di ruang tamu.
Manakala saatnya tiba sebuah keluarga kecil sudah mampu membuat rumah, maka
topping off ditandai makanan simbolik yang diletakkan di ketinggian. Padi dan
ketela untuk kemakmuran, kelapa untuk kekuatan, bubur merah dan putih untuk
keseimbangan, dan bendera Merah-Putih sebagai identitas kebangsaan. Akhirnya
kematian ditandai dengan nasi tumpeng dibelah dua.
Semiotika ketupat
Konfirmasi
atas fakta-fakta itu hendak membuktikan betapa eksistensi makanan ketupat dalam
kultur masyarakat Indonesia tidak dapat diabaikan. Bila kita meminjam perangkat
metode semiologi Charles Sanders Peirce, proses produksi pemaknaan ketupat
dapat dilihat sebagai ikon, lambang, dan simbol. Ikon adalah penunjuk langsung;
lambang adalah proses pengangkatan ikon ke dalam norma-norma keseharian; simbol
adalah lapis pemaknaan reflektif atas lambang yang terkait struktur kebudayaan.
Sebagai
ikon, ketupat dideskripsikan sebagai makanan berbahan beras yang dibungkus daun
muda pohon kelapa atau janur. Tidak setiap orang mampu membuat anyaman janur
sebagai wadah beras. Ikonografis ketupat lalu dimunculkan sebagai romantisme
menyambut Lebaran.
Sebagai
lambang, ketupat memberi arti penting dalam proses perayaan. Sebagai bukti,
sebagian masyarakat pesisir Jawa membagi perayaan Lebaran menjadi dua, Idul
Fitri dan Lebaran Ketupat. Idul Fitri jatuh 1 Syawal, sedangkan Lebaran Ketupat
adalah satu minggu setelahnya (7 Syawal). Ketupat tidak ada dalam Idul Fitri
karena hanya hadir dalam Lebaran Ketupat.
Sebagai
simbol, secara historis ketupat lahir dari sebuah pergulatan kebudayaan
pesisiran. Sumber dari Malay Annal (1912) oleh HJ de Graaf menyebutkan, ketupat
merupakan simbol perayaan hari raya Islam pada masa pemerintahan Demak yang
dipimpin Raden Fatah pada awal abad ke-15.
Bungkus
ketupat dipilih dari janur. Mengapa janur? De Graaf menduga-duga secara
antropologis bahwa hal itu berfungsi sebagai identitas budaya pesisiran karena
pohon kelapa kebanyakan tumbuh di dataran rendah. Selain itu, warna kuning
memberi arti khas untuk membedakan dari warna hijau dari Timur Tengah dan merah
dari Asia Timur.
Saling kunjung
Kebiasaan
berkunjung dan bersalaman bisa dijelaskan melalui etimologi kata ketupat, yakni
kupat (Jw) (Sumber: Slamet Mulyono Kamus Basa Jawa, 2008: 199). Para frase
kupat adalah ngaku lepat, mengaku bersalah. Kata itu menuntut kita
menghilangkan rasa benci, tersinggung, dan introspeksi diri agar bisa saling
memaafkan. Ketupat membimbing manusia pada fase pemahaman paling ultim tentang
hakikat manusia.
Kini,
budaya ketupat tidak bisa tergantikan. Memang ada gambar ketupat di kartu pos,
e-mail, SMS, MMS, dan aneka jejaring sosial. Namun, karena makan ketupat itu
tidak bisa secara virtual, ketupat mengundang kita untuk hadir, bertatap muka,
saling bercerita. Kita disadarkan, betapa kehidupan sehari-hari menjauhkan kita
dari keluarga, kerabat, dan sahabat. Kita menjadi makhluk asing yang terlempar
dari budaya ketupat.
Ada pula ketupat
sayur di Jakarta. Namun, meski kita bisa makan kapan saja, sebetulnya menu itu
ingin menghadirkan budaya ketupat dalam kehidupan sehari-hari, bukan setahun
sekali.
*Penulis adalah Peneliti
Filsafat; Bekerja dan Menetap di Semarang
Comments