Di Bawah Cahaya Rembulan
“Wulan........”
Wulan, tetap berdiri mematung. Ia tak lekas membalikkan badannya.
Ia merasa yakin tahu, bahwa itu suara siapa. Tetapi ia tak lekas dan buru-buru membalikkan
badannya. Ia agak bergetar. Jantungnya berdegup tak karuan. Tangannya
menggengam erat dan meremas-remas gemas. Ia jengkel dengan seorang yang besuara
tersebut.
Suara itu. Suara yang telah ada dalam masa silam. Suara yang sudah
menghilang dua tahun yang lalu. Betapa rindunya hati Wulan pada orang yang
mempunyai suara itu. Namun ia tetap berdiri mematung. Diam tanpa kata.
“Apa...?” jawab Wulan agak geregetan.
“Wulan.....” suara itu memanggilnya lagi.
Namun, Wulan tetap tak membalikkan badannya. Ia tetap berdiri mematung.
“Jahat banget sih.....” suara itu semakin membuat Wulan
semakin geregetan.
“Bukankah kamu yang lebih jahat. Lebih jahat dari penjahat. Telah
meninggalkanku dua tahun dalam kesepian yang amat sunyi dan kerinduan yang
menggebu-gebu. Menghadapi hari tanpa rasa bahagia dalam relung jiwa. Apakah itu
tidak jahat.” Jawab Wulan dengan suara bergetar.
“Iya, maaf. Bukan maksudku menjahatimu, Wulan. Bukan. Bukankah kita
dulu sudah bersepakat bahwa kita berpisah untuk kembali.”
Wulan membalikkan badannya. Kemudian ia mendekati suara itu dan memukul-mukul
dengan lembut sesosok tubuh yang ada didepannya. Lalu memeluknya dengan erat.
Seerat-eratnya.
“Jangan tinggalkan aku lagi. Aku tak mau kesepian seperti itu,
Lintang. Itu adalah bentuk kejahatan. Kejahatan cinta yang harus dihukum lebih
berat dari pencuri ayam.” Pinta Wulan kepada Lintang kekasihnya waktu SMA dulu.
Betapa rindunya Wulan kepada Lintang, yang telah menjadi kekasih
setianya dulu. Kekasih yang telah menjadi sahabat ketika Wulan sedang sakit,
ketika Wulan di fonis oleh dokter tidak akan hidup lama lagi. Lintang-lah yang
menemaninya.
***
Dulu, ketika masa SMA. Lintang dan Wulan merupakan lelaki dan gadis
yang menjadi bunga sekolah bagi seangkatannya. Layaknya sepasang bintang dan
bulan yang setiap malam bersinar terang bersama. Begitu pula dengan mereka
berdua. Ia kemana pun bersama. Dan bersama-sama setiap waktu. Bahkan hampir tak
ada jarak tiap mereka bertemu. Di kantin. Di kelas yang kebetulan juga satu
jurusan. Di rumah sakit ketika Wulan sakit parah hingga sembuh total. Di rumah.
Ketika bermain. Mereka terus bersama-sama.
Namun, ketika mereka dinyatakan lulus oleh Ujian negara. Mereka
hilang entah kemana. Waktulah yang telah memisahkan mereka. Tak ada kebersamaan
lagi. Yang ada hanya sunyi sepi baginya. Bagi mereka berdua.
Lintang meneruskan untuk kuliah di Kota Apel Malang. Sedangkan Wulan
ingin melanjutkan mimpinya sebagai seorang perawat di kampus yang terkenal di
kota budaya Yogyakarta.
Perpisahan, yang mereka jalani selama itu menjadi kenangan pahit bagi
mereka berdua. Tak ada kebersamaan lagi yang ada hanya berteman sepi.
***
Bulan malam ini tak bersinar, begitu pula dengan bintang yang tak
bertebaran dilangit-langit. Akhir-akhir ini, kota Yogyakarta sering terjadi
hujan. Mungkin suasana seperti ini, yang di manfaatkan Lintang dan Wulan untuk
berduaan untuk melepaskan rindu. Mereka berdua pergi kesebuah warung lesehan
untuk melepas kerinduan yang telah lama terpendam dalam lubuk hati dan jiwa
mereka.
“Wulan.... ingatkah engkau waktu itu?”
“Apa?” Wulan sambil tersenyum genit padanya.
“Bukankah kita dulu sering menikmati purnama dengan teman-teman SMA
di Alun-Alun Kota. Dengan ramai, kita menyerbu alun-alun itu layaknya mau
konfoi perayaan kelulusan”
“hehehe....” Wulan hanya tersenyum.
Wulan, sebenarnya ingat semuanya. Bahkan ketika Lintang membelai
bibirnya demi sebuah hadiah kelulusan yang semu. Tetapi ia, sekarang seperti di
alam mimpi. Bertemu pada sosok yang mungkin menurutnya tak akan kembali.
Kedalam dunianya nyata bahkan kepelukannya.
Di tempat makan mereka saling beradu tanya. Saling menjawab.
Lintang bertanya, bagaimana keadaanmu disini? Begitu sebaliknya. Sampai mereka
tak terasa warung hampir tutup.
“Pulang Yuk, sudah larut malam. Toh warungnya juga hampir
tutup.”
Jalanan di kota pun sepi, karena rerintik hujan sejak sore tadi tak
urung henti yang terjadi di kota Yogyakarta akhir-akhir ini.
Namun Wulan tetap duduk manja di warung lesehan itu. Ia masih
merasa pertemuan itu terlalu singkat. Ia tak mau kehilangan lagi. Kehilangan
seseorang yang telah menjadi lelaki abadinya. Mungkin seperti itu.
“Nanti dulu....” Wulan merengek-rengek seperti anak kecil yang
meminta mainan kepada orang tuanya.
“Besok ketemu lagi. Toh, aku dalam dua hari kedepan tetap di
sini.”
Mereka tak sadar, bahwa sejak tadi dilihatin dan ditertawain
anak-anak muda yang menjaga warung lesehan tersebut. Karena mungkin melihat
sifat manja dari Wulan. Padahal mereka tidak tahu apa itu rindu bagi Wulan.
“Emangnya, kamu menginap dimana?” tanya Wulan.
“Di hotel, dekat dengan kampusmu kok.”
“Ikut ya...., males kalau pulang di kos malam-malam begini.” Pinta
Wulan, sambil berkedip genit pada Lintang.
Lintang pun tak menjawab. Namun ia hanya tersenyum sebagai tanda
persetujuan.
***
Di sebuah kamar hotel. Hujan pun masih belum usai meneteskan
airnya. Sedang Wulan dan Lintang tidur di atas kasur berpagutan dengan mesra.
Lintang yang duduk berselonjor dengan Wulan rebahan dalam
pangkuannya. Membuat suasana malam itu semakin terlihat bahwa Wulan memendam
rindu yang amat dalam.
“Aku teringat, betapa jasamu telah menyelamatkan hidupku dulu.
Betapa engkau adalah lelaki yang menjadi semangat untuk hidup tatkala dokter
telah memfonisku bahwa aku tak punya umur panjang. Dan dengan kegigihanmu
memotifasi diriku, aku semangat untuk hidup kembali.” Wulan kembali bercerita
tentang masa lalunya bersama Lintang.
“Iya... Wulan. Aku waktu itu juga tak menyadari bahwa cintalah yang
membuatku seperti itu. Dengan cinta orang tak takut dengan segala yang ada.
Dengan cinta seorang juga akan berusaha bagaimana orang lain juga bahagia.
Karena dengan cinta hidup itu penuh makna.”
Dari dulu Lintang memang pintar ngegombal, namun juga ada
bukti yang terselib dalam kata-kata bualan itu. Mungkin dari bualan itu Wulan
menjadi terpesona padanya. Karena mungkin juga, wanita itu suka dimanja dengan
sentuhan kata-kata yang lembut dan meresab kedalam lubuk jiwanya.
“Ah,,,, dari dulu kamu selalu begitu. Berkata cinta. Dan entah
kenapa aku suka dengan kata-kata bualanmu.”
Dan tak terasa malam sudah larut dalam waktu. Mereka akhirnya,
sudah tak kuat menahan kekuatan kantuk lagi. Tanpa disadari Lintang dan Wulan
pun tidur lelap bersama.
***
Di bawah cahaya rembulan, malam itu di alun-alun utara ada sebuah
pentas musik. Wulan dan Lintang pun tak ketinggalan ingin menghabiskan malam
terakhirnya di kota Yogyakarta. Karena besok pagi Lintang akan kembali ke kota
Apel untuk kuliah.
“Di malam terakhir ini, aku mau jujur kepadamu Lintang. Ini adalah
soal masa depan kita bersama. Tujuan awal aku kesini ingin melihatmu. Melihat senyum
yang berkembang di wajahmu tanpa diriku. Namun awal aku melihatmu, aku tak
tega. Karena engkau tak bahagia.”
“Iya, itu benar. Aku tak tahu entah sampai kapan perasaanku akan
terus terpaku padamu. Terus menerus memikirkanmu. Dan itulah aku yang selalu
membutuhkanmu, Lintang.”
Wulan meneteskan air matanya. Perkataan Lintang membuat Wulan
merasa lemah tak berdaya. Sebenarnya Lintang ke Yogyakarta untuk memberi tahu
sesuatu yang teramat penting. Dan itu tentang cintanya.
“Wulan sebenarnya aku tak mau melihatmu malam ini bersedih di bawah
sinar terang cahaya rembulan. Tetapi ini harus aku sampaikan padamu. Aku akan
menikah. Menikah dengan gadis yang tak aku cintai sama sekali.”
Mata Wulan membasah. Lama-lama membanjiri pipinya. Seperti rintik
hujan kemarin malam. Hatinya seperti tercabik-cabik oleh serigala-serigala
cinta. Dan sinar bulan malam itu pun mulai redup.
Yogyakarta, 2013
Comments