Golput, Money Pilitic dan Pemilu 2014


Setiap menjelang Pemilihan Umun (pemilu), bangsa ini selalu dihantui dengan merebaknya golongan putih (golput).  Pun dengan pemilu 2014 yang sebentar lagi akan semarak digelar di seluruh Indonesia nanti. Golput pun telah menjadi bayang-bayang yang agaknya sulit untuk dihilangkan dari pemilu. Inilah kendala yang selama ini menjadi problem pesta demokrasi kita.

Fakta meningkatnya golput ini dapat kita lihat dari hasil Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang menunjukkan bahwa Pemilu pada tahun 2004 jumlah golput hanya sekitar 16 persen, dan kemudian meningkat pada Pemilu tahun 2009 sebanyak 29,1 persen. Survei tersebut menunjukkan bahwa setiap digelar pemilu jumlah golput terus meningkat bahkan secara signifikan.Jika melihat akar historiesnya, istilah golput dimunculkan oleh Arief Budiman dan kawan-kawan pada Pemilu 1971 sebagai bentuk gerakan moral (moral forces) untuk melakukan penolakan terhadap arogansi pemerintah dan ABRI (sekarang TNI) yang hanya memihak salah satu partai politik pada waktu itu. Bentuk arogansi tersebut tidak lain ialah pemaksaan hak pilih kepada rakyat untuk memilih partai Golkar. Dimana pada saat itu Golkar sebagai kendaraan politik Soeharto dan kroni-kroninya. Pada saat itu pula Orde Baru melarang berdirinya PSI dan Masyumi sebagai bentuk representasi parpol Islam (Gugun el-Guyanie: 2009).

Golput seolah-olah kini telah menjadi gaya hidup tersendiri bagi individu pemilih tetap maupun pemilih pemula. Ada beberapa alasan mengapa seseorang/kelompok masyarakat memilih golput. Pertama, masyarakat/seseorang sudah merasa putus asa terhadap peran pemerintah yang selama ini tidak memberikan kontribusi bagi mereka secara pribadi ataupun rakyat pada umumnya. Hal ini yang menyebabkan masyarakat menjadi apatis terhadap pemilu atau dengan kata lain golput merupakan golongan orang-orang putus asa.

Kedua, golput dianggap suatu pilihan yang tepat dan sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintah atau jika meminjam istilah Aguk Irawan MN sebagai revolusi putih. Supaya pemerintah sadar bahwa rakyat lebih berkuasa dari pada pemerintah. Karena rakyat ialah pemegang kedaulatan tertinggi dari suatu negara dan pemimpin ialah wakil yang dipilih rakyat melalui pemilu.

Ketiga, barangkali masyarakat/seseorang menganggap dalam sebuah pemilu tidak mendapat sosok yang tepat untuk mewakilinya lima tahun kedepan. Bahkan bisa dibilang tidak adanya calon pemimpin yang diidolakannya. Sehingga mereka lebih baik golput dari pada salah memilih pemimpin.

Kemudian yang terakhir, lebih baik mencari duit atau bekerja dari pada harus membuang-buang waktu untuk datang ke tempat pemungutan suara. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya politik uang (money politic) disetiap pemilu. Upaya ini dilakukan agar masyarakat yang golput dapat memilih tokoh pemimpin yang dimaksud, untuk dipilih dan dijadikan pemimpin yang mewakilinya.

Fenomena seperti itulah yang selama ini menjadi penyebab semakin meningkatnya suara golput dari tahun ke tahun. Pemimpin dengan janji-janji yang terkadang tidak mampu memenuhinya menjadikan masyarakat apatis dan kapok untuk datang ke tempat pemungutan suara. Sehingga berangkat dari fenomena tersebut, seorang pemimpin seharusnya paham dan sadar diri agar tidak terlalu mengumbar janji ketika ia tidak mampu memenuhi janjinya tersebut.

Begitu pula dengan isu  money politic. Isu ini kiranya menarik untuk dibahas lebih mendalam karena money politic merupakan kejahatan luar biasa. Apalagi dengan negara yang menganut sistem demokrasi seperti Indonesia ini. Oleh sebab itu, money politic harus dimusnahkan sesegera mungkin.

Selama ini masyarakat/seseorang menyadari hal tersebut. Akan tetapi mereka telah terkontaminasi dengan ideologi wani piro?. Artinya siapa yang mau bayar akan ia pilih. Hal tersebut sangat berbahaya jika Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) khususnya di pemilu 2014 ini tidak tanggap akan hal tersebut.

Money politic akan menjadi jalan pintas bagi mereka yang ingin mengeruk suara sebanyak-banyaknya dalam pemilu demi sebuah kursi kekuasaan. Sehingga dengan begitu, money politic telah mencederai asas-asas demokrasi di negara Indonesia ini.

Oleh karena itu, untuk mengurangi angka golput di pemilu 2014 ini ada beberapa cara untuk mengurangi prosentasenya. Pertama, seorang calon pemimpin yang muncul haruslah sosok yang benar-benar diidolakan rakyat. Jangan pemimpin yang manis di depan tetapi busuk di belakang.

Kedua, mengubah moral politisi yang selama ini hanya pintar mengobral janji ketika ingin menduduki kursi. Akan tetapi setelah kursi itu sudah diraihnya, mereka lupa dengan janji-janji manisnya yang telah mereka teriakkan dengan lantang lewat saluran-saluran televisi, koran, dan media yang lainnya.

Terakhir, yaitu memasyarakatkan pemilu agar masyarakat yang sebelumnya tidak tahu menjadi lebih mengerti (baca: sosialisasi). Akhirnya, semoga dengan cara seperti itu golput dalam pemilu nanti akan semakin berkurang. Wallahu’alam bissawab.


Metro Riau, 13/02/2014

Comments

Popular posts from this blog

Maria Walanda Maramis (1872-1924)

Rahasia Hidup Bahagia Tanpa Mengeluh

Panduan Mudah Belajar Numerologi