Gita Wirjawan dan Pemimpin Anti Impor
Sungguh ironi, ditengah tata kelola perdagangan bangsa Indonesia
yang karut marut, beberapa waktu yang lalu tepatnya hari Jum’at, 31 Januari
2014 Menteri Perdagangan (Mendag) Gita Wijarwan dalam jumpa persnya di Gedung Kementerian
Perdagangan Jakarta menyatakan untuk mundur secara efektif pada tanggal 1 Februari
2014. Lebih parahnya, ia mundur demi fokus mengikuti konversi Capres Partai
Demokrat.
Kemunduran Gita Wirjawan sebagai Mendag ini mengindikasikan nilai
negatif atas ketidak bertanggungjawabannya sebagai seorang menteri. Terlebih
lagi, ada beberapa kasus yang belum ia selesaikan selama menjabat. Apalagi ada
isu yang paling tidak sedap menjelang kemundurannya yaitu adanya impor beras.
Mengikuti konversi itu sah-sah saja dan merupakan hak pribadi baginya.
Akan tetapi, jika ia pun lolos dan menjadi presiden, bagaimana ia bisa
menyelesaikan persoalan yang lebih besar kapasitasnya, kalau sebagai menteri
saja belum bisa diselesaikannya secara maksimal dan penuh tanggung jawab.
Hal ini, juga terkait dengan kewibawaan seorang pemimpin. Jika kita
mengaca pada kasus ini, kewibawaan seorang pemimpin dimata masyarakat pasti
sudah tidak ada lagi. kalaupun ada mungkin hanya secuilnya saja. Oleh karena
itulah, seorang pemimpin setidaknya menyelesaikan dahulu apa yang telah menjadi
tanggungjawabnya. Tanggungjawab yang diamanatkan oleh rakyat kepadanya demi
menjaga sebuah kepercaayaan yang diberikan.
Kesalahan Gita Wirjawan sebagai seorang menteri bukan hanya itu
saja. Semenjak ia di pilih Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) untuk menduduki
kursi sebagai Mendag dalam Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, banyak
slogan-slogan yang ia koar-koarkan baik melalui media maupun stiker-stiker yang
bertebaran di jalan-jalan. Ia mengingatkan untuk membeli produk dalam negeri dari
pada harus membeli produk luar negeri, yang notabene produk dalam negeri pun
tak kalah kualitas dari produk luar.
Akan tetapi dalam kenyataannya, ini berbanding terbalik dengan
fakta yang ada. Banyak kebijakan yang kontra dengan slogan-slogan yang selama
ini menempel diberbagai tiang-tiang listrik, lampu lalu lintas dan lainnya. Dari
beras, garam, gula hingga barang yang lainnya masih saja impor. Tentu hal ini melukai
hati rakayat Indonesia. Disisi lain rakyat disuruh membeli produk dalam negeri,
disisi yang lain pemerintah malah asyik secara masif melakukan impor.
Politik Pencitraan
Jika benar, apa yang dilakukan Gita Wirjawan hanya sebagai bentuk
pencitraan dalam mendulang banyak suara dengan cara yang praktis. Maka, akan
berdampak buruk bagi dirinya sendiri. Hal itu karena politik pencitraan yang ia
lakukan terbentur dengan kasus impor beras dari Vietnam yang telah beredar di
pasaran baru-baru ini. Terlebih lagi, kasus tersebut tidak jelas jluntrungan-nya
bagaimana.
Politik pencitraan yang dilakukan Gita Wirjawan ibarat pedang
bermata dua. Pertama, ia akan berhasil melakukan pencitraan apabila mampu
mengelola pencitraan tersebut dengan baik dan tidak terbentur pada kasus
ketidak jelasan impor beras Vietnam tersebut. Kedua, pedang tersebut (baca:
pencitraan) akan menusuknya sendiri apabila kasus impor beras tersebut telah
menyeret namanya. Oleh karena itu, Gita Wirjawan sebagai pemegang tamuk
kekuasaan harus bertanggung jawab atas kisruh tersebut. Dengan jalan
menjelaskannya kepada masyarakat apa yang sebenarnya terjadi.
Pemimpin Anti Impor
Terlepas dari kasus tersebut, Sebenarnya masyarakat telah lama
mengimpikan seseorang pemimpin yang benar-benar anti impor. Hal itu terjadi
karena masyarakat menganggap bahwa jika
pemimpin benar-benar anti impor, pasti akan serius mengelola tanah Indonesia
yang katanya seperti tanah surga ini demi mensejahterakan rakyatnya. Akan
tetapi dalam kenyataannya, pemerintah masih saja impor dari pada harus susah
payah untuk mengelola tanah dan petani yang ada.
Ini menunjukkan bahwa mental pemimpin kita selama ini hanya bersifat
prakmatis, tidak mau bersusah payah terlebih dahulu. Akan tetapi
bersenang-senang dahulu, kemudian bersusah payahlah. Inilah yang menjadikan
bangsa ini tidak maju-maju karena mental pemimpin kita sendiri memperlihatkan
ketidakinginannya untuk bangkit dan maju. Sehingga dari tahun ke tahun hingga
mengalami beberapa kali pergantian pemimpin tetap saja tidak ada perubahan
signifikan.
Rakyat Indonesia sudah terlalu lelah untuk terus bekerja tanpa
hasil. Lihatlah petani kita, mereka tampak tua dan lusuh karena tanamannya
banyak yang gagal panen karena banjir. Kalaupun dengan petani yang bisa panen,
lihatlah harga yang diterimanya apakah sepadan dengan usahanya. Itulah
pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. Untuk itu, menjelang pemilu 2014 yang
sebentar lagi akan digelar, ada pesan singkat rakyat untuk calon pemimpin. “Kami
ingin pemimpin anti impor yang lebih mengutamakan kesejahteraan rakyat, itu
saja”.
(Metro Riau, 08/02/2014)
Comments