Simalakama
Menjelang malam. Waktu itu rintik hujan dan angin berhembus pelan.
Dingin. Kau datang dengan muka kelam. Matamu sedikit basah entah karena rintik
hujan atau hatimu yang sedang gundah. Di tempat tinggalku yang sempit. Hanya
berukuran tiga badan.
Ini tak seperti biasanya. Terakhir kali aku melihatmu selalu
tersenyum. Dan kini berubah menjadi beda. Aku terheran-heran. Apakah engkau
sedang bermain akting layaknya bintang film yang sedang berperan memainkan muka
cemberut. Dalam benakku.
Di tempatku, kau tak banyak bicara. Kau hanya duduk diam. Tatapan
kosong, yang membuatku semakin penasaran denganmu. Hatiku semakin terusik.
“Ada apa denganmu? Tak seperti biasanya. Mana mukamu yang dulu?”
Kataku mengeras.
Engkau tetap diam. Menatapku sebentar. Dan air matamu tumpah.
Semakin lama semakin membanjiri pipimu yang semakin dalam. Dan urai rambutmu
malam itu sedikit acak-acakan.
“Ini terlalu berat aku ungkapkan padamu. Namun semua adalah salahku.
Keputusan memilih langkah dalam menentukan hal yang tidak sepele membuatku
semakin bingung. Dan hatiku kini remuk. Seperti tersayat-sayat pisau..” Katamu
dengan suara parau akibat banjir yang selalu keluar dari kedua kelopak matamu.
Sehingga danau yang ada di dalam tenggorokanmu mulai kering.
Dan aku semakin tak paham apa yang engkau ucapkan. Hanya saja, aku
tahu engaku pasti sedang sakit hati. Dengan memandang matamu yang senjak tadi
terus membanjir. Dan aku takut, air yang ada dimatamu kering kemarau.
Bukankah dulu, dia sudah bahagia. Memiliki kekasih yang cantiknya
melebihi tujuh bidadari kahyangan dan calon mertua baik hati seperti para dewa.
Bukankah engkau raja bagi keluarga itu. Hidup dalam kebahagiaan yang sudah
sangat komplit. Batinku sedikit berontak.
“Ah, aku semakin tak paham denganmu. Apa engaku sedang ada masalah
dengan calon keluarga barumu itu. Bukankah dulu engkau bilang mereka itu sudah
menganggapmu sebagai anak kandungnya. Dan engkau juga bilang padaku bahwa
kekasihmu yang bernama Pratiwi itu cinta mati padamu.”
“Iya, semua yang kamu ucapkan itu benar. Namun itu dulu, dan waktu
bagiku adalah pisau yang siap menikamku. Betapa tidak, semakin lama kami
berpacaran semakin lama kami harus memberi kejelasan. Dan itu yang dibutuhkan
ayah dan ibunya Tiwi.”
Kata-katamu sedikit menusukku. Membuat malam itu semakin sunyi.
Dalam rintik hujan yang senja tadi telah jatuh dari pekatnya awan gelap. Dan
malam itu tak ada bulan maupun bintang. Mungkin ia paham apa yang engkau
rasakan. Sehingga ia ikut larut dalam kesedihanmu.
“Bukankah itu yang kalian harapkan senjak dulu. Begitu pula dengan
orang tuamu dan orang tua Tiwi. Juga bagiku sebagai sahabatmu. Dan teman-temanmu
yang lain pula.”
“Bukan....., bukan secepat itu yang aku harapkan.” Engkau
menundukkan muka, lalu mengusapnya dengan tangan kirimu.
“Bagiku pernikahan itu bukan pilihan yang mudah, apalagi ada
beberapa hal yang waktu itu mengusik pikiranku. Pertama, orang tuaku yang sakit
parah dan membutuhkan biaya perawatan yang mahal, sekitar 5 juta tiap bulannya
dan itu separuh aku tanggung, separuhnya lagi adikku yang sudah kerja. Kedua,
masa depanku juga belum jelas. Bagaimana dengan biaya pernikahanku? Oke, orang
tua Tiwi yang akan membiayai itu semua. Namun setelah pernikahan? Aku tak tahu.
Mungkin orang tuanya akan membantu. Tetapi bagiku adalah malu. Meminta dan
terus meminta. Mau ditaruh mana mukaku ini.”
“Lalu, apa keputusanmu?” Tanyaku Singkat saja.
“Aku bimbang, tak ada upaya. Dan ini yang membuat keluarga Tiwi
kecewa. Bahkan sakit hati dengaku.”
Aku tak tahu malam itu harus bilang apa lagi kepadamu. Otakku
kosong. Apalagi masalah pernikahan yang bermasalah. Imajinasiku mandeg.
Udara malam semakin dingin. Pintu-pintu kamar tetangga sudah tertutup rapat dan mematikan lampu. Namun
pintu kami tetap terbuka. Aku merasa tak tega melihat sahabatku menderita.
***
Dulu, kupikir Rian sudah hampir menikah dengan Tiwi. Kedekatan
kalian membuatku terkadang iri. Kemesraan. Senyuman. Kebahagiaan. Selalu
mendampingi kalian berdua kemanapun bersama.
Namun, aku juga tak menyangka dengan pilihanmu. Itu juga yang
membuatku kaget dan tercengang.
“Satu bulan, dua dan tiga bulan perpisahanku dengannya masih tak
apa. Namun, semakin lama semakin aku tampak rapuh. Serapuh ranting pepohonan.
Ku putuskan untuk kembali kepadanya dan menyatakan siap meminangnya.” Dan air
matamu terus membanjir.
“Namun tak semudah itu, ketika mendatangi rumah Tiwi beserta kedua
orang tuaku. Tiwi tergolek di kamar, sakit. Matanya cekung. Bibirnya pucat
pasi. Tubuhnya tak seperti dulu. Kering.”
Tiwi meraba-raba mencari sesuatu. Lalu Rian mendekap tangannya.
Ibunya menangis. Suasana di rumah itu semakin duka. Tiwi meneteskan air matanya
ketika Rian mengungkapkan kata ingin melamarnya.
Tetapi tidak dengan ayah Tiwi. Ia tak bisa menerima Rian kembali.
Ia merasa sudah dikhianati. Baginya tak ada kata maaf lagi. Mungkin ia terlalu terluka.
Walaupun Tiwi meminta dengan sangat amat. Ibunya menangis semakin keras. Ia
tetap membatu.
Orang tua Rian yang juga berbicara dengan baik. Namun tetap
ditolak. Bahkan pamannya yang disuruh Rian menyusul untuk berbicara dengan ayah
Tiwi. Juga ditolaknya dengan mentah. Suasana rumah semakin duka. Keluargaku pun
menyerah pasrah.
***
Selang satu bulan. Suasana semakin kelam. Tiwi mengabariku bahwa ia
akan dinikahkan dengan lelaki lain. Hatiku tercerabik.
Ia suruh Rian membawanya lari dari rumah tanpa tanda damai itu.
Namun orang tuanya tak ingin menerima Tiwi lagi. Mereka merasa di sakiti dan
tersakiti. Mereka berdua seperti makan simalakama. Memilih kekasih atau
keluarga.
“Bagiku tak apalah. Hidup berdua ditemani cinta dan kebahagiaan
yang semu. Dan aku kira kami kuat.” Pikirmu waktu itu.
Namun tidak bagi Tiwi, ia juga rapuh. Juga ketika ia tahu bahwa
keluargamu menolaknya. Ia memilih mundur.
***
“Saya Terima nikah dan kawinnya.....”
Tepat tanggal 20 Mei, ketika Rian ulang tahun. Tiwi melangsungkan
resepsi pernikahannya.
Dan malam semakin kelam. Hujan turun semakin derasnya.
Pati-Yogyakarta, 2013
Comments