Sebuah Lika-Liku Perjuangan Meraih Mimpi

Judul Buku      : Selalu Ada Kapal Untuk Pulang
Penulis             : Randu Alamsyah
Penerbit           : Diva Press
Cetakan           : I, April 2013
Tebal               : 278 halaman
ISBN               : 978-602-7641-22-8
Setiap manusia pasti mempunyai cita-cita. Karena dengan cita-cita manusia akan berusaha dengan sekuat kemampuannya untuk menggapai cita-cita yang ia inginkan. Termasuk dua sahabat yang bernama Poy dan Apin dalam novel yang berjudul “selalu ada kapal untuk pulang” ini.
Poy dan Apin adalah cermin manusia Indonesia dari pelosok desa terpencil yang bernama Timbulungo yang jaraknya sekitar dua ratus kilometer dari pusat kota Gorontalo-Sulawesi Utara. (hlm. 20) Desa yang sangat pelosok, bahkan peralatan modern seperti kulkas dan TV saja masyarakat Timbulungo masih belum fasih menyebut namanya. Juga akses jalan menuju daerah tersebut sungguh sangat berbeda dengan daerah lainnya, disana hanya ada satu kendaraan betor yang dapat mengantarkan mereka ke pusat kota.
Banyak anak yang seumuran Poy dan apin yang memilih bekerja dari pada kuliah. Ada yang menjadi TKI ilegal bahkan hanya menjadi tukang jasa panjat pohon kelapa yang gajinya tak seberapa. Sehingga dengan keadaan itu dan demi masa depan masyarakat desanya, Poy dan Apin berangkat dengan niat dan nekat yang bulat. Perubahan. Mungkin pikir mereka seperti itu.
Walaupun cita-cita yang meraka ingin gapai cukup sederhana, yaitu menjadi seorang guru. Namun menjadi seorang guru itu, bukankah cita-cita yang mulia. Menadapat julukan pahlawan tanpa tanda jasa dan pasti namanya akan dikenang oleh banyak orang. Pikir Poy dan Apin waktu itu. Meski akhirnya mereka tahu bahwa untuk mencapai cita-cita menjadi guru tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Artinya, mereka juga harus bekerja keras. Ya, kunci kesuksesan itu 5% kerja keras, 5% kerja keras, dan 90% kerja keras. Artinya butuh kerja keras.
Namun ketika Poy dan Apin mempunyai cara pandang yang berbeda. Mereka lebih memilih berpisah dan menentukan jalan untuk menggapai cita-citanya masing-masing. Poy lebih bersikap sederhana sebagai mahasiswa sedangkan Apin menjadi aktivis kampusnya.
Setelah delapan tahun berpisah, Apin yang sudah sukses menjadi anggota dewan di Gorontalo, merindukan pada Poy sahabatnya. Namun ketika Apin tahu bahwa Poy sekarang terdampar di sebuah masjid kecil di Sulawesi Tengah menjadi guru ngaji, ia merasa iba dengan Poy. Tetapi perjumpaan itu akhirnya menyadarkan mereka bahwa mereka sudah melenceng dari jalan cita-citanya sejak awal.
Namun Poy setidaknya sudah menjadi guru yang betul-betul tanpa tanda dan jasa. Namun Poy tetaplah manusia biasa yang juga meninginkan sebuah pekerjaan yang pasti dan akhirnya ia mendapat pekerjaan sebagai cleaning servis di sebuah mall. Walaupun pekerjaan itu sederhana ia tetap menjalaninya. Sedang kabar Apin sekarang terpenjara dalam kurungan besi karena dituduh menggelapkan uang dari rakyatnya. (hlm. 268)
Sebuah novel inspiratif, perjuangan, persahabatan yang tentu diselingi tawa, canda, dan duka bahkan menguras air mata yang membaca. Namun Apin tetap mengingatkan kita bahwa selalu ada kapal untuk pulang yang akan memabawa kita untuk menyongsong masa depan dengan pemikiran yang lebih bijaksana.
“Pada Awalnya, aku mengira cita-cita adalah hal terbaik yang bisa kugapai. Tetapi, nyatanya tidak. Cita-cita sebenarnya tidak pernah menjadi sederhana....” Ujar Poy (hlm. 255)
Selamat membaca! Dan gapailah cita-citamu walau sedalam lautan dan jangan pernah takut untuk mewujudkannya kawan.

*) Dimuat di Radar Seni, edisi 28 September 2013.

Popular posts from this blog

Maria Walanda Maramis (1872-1924)

Rahasia Hidup Bahagia Tanpa Mengeluh

Panduan Mudah Belajar Numerologi