Ke Jogja Demi Apa Atau Siapa?

Yogyakarta. Ya, keinginan ke Yogya sudah menjadi niat bulat waktu itu. tak ada pilihan lain. Walaupun sebelumnya pernah mencoba kota-kota besar lain untuk aku tinggali, namun satu pun atak ada yang cocok sama sekali.
Di Semarang misalnya,  yang dikenal orang dengan kota Industri, pabrik-pabrik yang setiap hari mengepulkan asapnya. Aku pun terbuang. Hidup di Semarang harus ku pikir ulang, sebelum kakiku menginjakkan tanah kota tersebut. Dari biaya hidup yang mahal sampai kondisi ekonomi keluarga hingga culture akademik juga masuk daftar perhitunganku waktu itu. Tidak cocok. Begitulah kiranya  jawaban yang aku dapat setelah berkonsultasi dengan orang-orang yang pernah tinggal di Semarang maupun yang pernah mengenyam pendidikan disana.
Kota yang menjadi pilihan kedua yaitu Malang. Tak terbayang Malang itu seperti apa. Yang aku tahu Kota Malang itu dingin. Pikirku waktu itu. Hanya berbekal atlas dan uang saku yang minim serta nomor HP keponakan pamanku, aku mencoba mendewasakan dan memberanikan diri menyambangi kota tersebut. Perjalanan dari Pati ke Malang memang cukup melelahkan juga mengasyikkan. Apalagi bayangku sudah mengembara di Malang nanti ingin begini ingin begitu. Yah, namun tak sesuai kenyataanku. Ah, sial. Disana aku mengira bisa hidup dengan cukup, namun setelah melihat kondisi dan budaya yang ada disana aku merasa kurang sreg. Lagi-lagi tentang biaya hidup, sekolah yang mahal serta pekerjaan yang tak mudah untuk didapat. Aku hanya mampu bertahan seminggu.
Sedangkan pilihan terakhirku, ke kota buaya (eh salah ketik), maksudnya kota budaya Yogyakarta. Ya, awal bulan Juli 2010 aku memutuskan ke Yogya berdua dengan temanku. Kami merasa senasib seperjuangan. kami naik bus dari Pantura Batangan ke Semarang tepatnya terminal Terminal Terboyo. Teminal yang kumuh, tiap tahun tergenang banjir, begitulah orang mengenang terminal tersebut.
Perjalanan ke Yogya naik bus tanpa AC (Air Conditioner) ternyata melelahkan juga. Terik matahari yang menyengat dari balik jendela bus membuat orang gerah. Ditambah jalanan Ambarawa yang ekstrim karena berkelok-kelok dan konon tiap tahun makan korban. Ngeri sekali mendengar cerita kematian-kematian di jalur ini. semoga selamat, batinku.
“SELAMAT DATANG DI YOGYAKARTA”. Melihat tulisan yang terpampang di gapura besar tersebut, membuat mataku yang sendari tadi terkatup sekarang terbelalak tajam. “YOGYA” pekik temanku yang juga gembira.
Setelah bus berhenti di terminal kebanggaan kota Yogya yaitu Giwangan. Kami turun. Menunggu jemputan dari saudara yang sudah sukses di Yogya. Ialah Gugun nama akrabnya. Gugun el-Guyanie nama lengkapnya. Kami dijemput untuk menuju tempat ia tinggal.
Ya, sekarang aku sudah sampai. Untuk apa aku kesini atau untuk siapa aku kesini? Pikirku. Dan niatku sudah bulat belajar.
Yogyakarta, 26 September 2013.


Popular posts from this blog

Maria Walanda Maramis (1872-1924)

Rahasia Hidup Bahagia Tanpa Mengeluh

Panduan Mudah Belajar Numerologi