Raden Adjeng Kartini (1879-1904)
Selain
Maria Walanda Maramis di Minahasa-Sulawesi Utara, di Jawa atau tepatnya kota Jepara
provinsi Jawa Tengah, juga terdapat sosok perempuan inspiratif yang terkenal
dengan perjuangan emansipasinya demi mencerdaskan kaum perempuan lewat
pendidikan. Dia ialah Raden Adjeng[1]
Kartini atau yang biasa disebut RA Kartini.
Perjuangan RA Kartini demi mengangkat martabat kaumnya telah membekas di hati masyarakat Indonesia. Sehingga tidak heran jika namanya selalu dikenang, bahkan tanggal lahirnya pun di peringati sebagai hari Nasional. Pada hari itu pula kaum perempuan menghormatinya dengan memakai kebaya adat Jawa seperti yang digunakan RA Kartini walaupun hal ini sedikit kontroversi.
Perjuangan RA Kartini demi mengangkat martabat kaumnya telah membekas di hati masyarakat Indonesia. Sehingga tidak heran jika namanya selalu dikenang, bahkan tanggal lahirnya pun di peringati sebagai hari Nasional. Pada hari itu pula kaum perempuan menghormatinya dengan memakai kebaya adat Jawa seperti yang digunakan RA Kartini walaupun hal ini sedikit kontroversi.
Untuk lebih menganal sosok Ibu RA Kartini berikut ulasan mengenai biografi singkatnya serta pemikiran dan kontribusinya terhadap dunia pendidikan di Indonesia. Dari biografi singkat serta kontribusinya RA Kartini ini, diharapkan menjadi inspirasi bagi anak-anak bangsa nantinya.
A. Biografi Singkat RA Kartini
Di
Jepara-lah RA Kartini dilahirkan. Lebih tepatnya tanggal 21 April 1879. Ia
adalah seorang putri dari Bupati Jepara, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat
dengan istri pertamanya yang bernama Nyi Ngasirah. Dari ayahnya itu, dapat
dilacak bahwa RA Kartini masih keturunan dari Hamengkubuwana VI.[2]
RA Kartini adalah anak kelima dari sebelas bersaudara, baik saudara kandung maupun tiri. Namun ia adalah perempuan tertua dari saudara-saudaranya itu. Pada saat Kartini menginjak usia 12 tahun ia dibolehkan untuk mengenyam pendidikan di ELS (Europese Lagere School). Di Sekolah ini, Kartini remaja banyak belajar ilmu pengetahuan, diantaranya ialah Bahasa Belanda.
Akan tetapi Kartini tidak bisa berlama-lama di ELS tersebut. Karena perempuan pada waktu itu, ketika memasuki usia 13 tahun sudah bisa dipingit. Artinya Karini harus menjalani masa untuk tidak keluar rumah. Namun, beruntungnya, Kartini pada waktu itu sudah bisa berbahasa Belanda setelah sempat mengenyam ELS.
Ia pun memutuskan untuk belajar secara mandiri demi menghibur dirinya. Ia mulai belajar menulis dan giat membaca baik koran, majalah maupun buku-buku. Dari giatnya membaca, Kartini mendapatkan sebuah inspirasi untuk memajukan perempuan pribumi[3]. Dimana perempuan pribumi pada waktu itu kurang mendapat pendidikan yang kurang sepadan dengan kaum laki-laki.
Berawal
dari itu, Kartini mengajakkan teman-temannya datang ke rumah untuk belajar
membaca dan menulis serta belajar ilmu pengetahuan lainnya. Selain itu, Kartini
juga aktif menulis beberapa artikel serta surat untuk teman-temannya di
Belanda. Salah satunya ialah Rosa Abendanon Isrtri dari J.H. Abendanon.
Pada tanggal 12 November 1903, kartini dinikahkan dengan KRM[4] Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat seorang Bupati Rembang yang pernah memiliki tiga istri. Beruntungnya, setelah Kartini menikah dengan Bupati Rembang tersebut, cita-cita Kartini untuk mendirikan sekolah bagi kaum perempuan disetujui dan didukung penuh suaminya.
Dari pernikahannya tersebut kartini melahirkan seorang anak bernama Soesalit Djojoaningrat pada tanggal 13 September 1904, ini adalah anak satu-satunya RA Kartini dengan suaminya. Karena, beberapa hari setelah melahirkan tepatnya tanggal 17 September 1904, Kartini menghembuskan nafas terakhirnya. Ketika itu usia RA Kartini baru 25 tahun. Ia dimakamkan di Bulu-Rembang.[5]
B. Kontribusinya Terhadap Dunia Pendidikan
di Indonesia
Pemikiran RA Kartini, bisa dikatakan hampir sama dengan Maria
Walanda Maramis mengenai dunia pendidikan pada masa itu. Berawal dari
kegelisahannya melihat kaumnya tertindas karena kurang mendapatkan pendidikan
yang layak, Kartini pun mempunyai tekat yang sama kuatnya dengan Maria Malanda
Maramis.
Pada surat-surat Kartini, seperti Zelf-ontwikkeling (Pengembangan diri), Zelf-onderricht (Otodidak), Zelf-vertrouwen (Percaya diri), Zelf-werkzaamheid (Kemampuan diri), dan Solidariteit (Solidaritas). Disitu dapat dilihat kegelisahan Kartini bahwa ia pun tak tega melihat kondisi sosial masyarakat, terutama pada kaum perempuan saat itu. Dia ingin kaum perempuan memiliki kesempatan yang sama dengan kaum laki-laki untuk bebas menuntut ilmu dan belajar. Di dalam surat-surat itu pula, tertulis banyak kekecewaan yang diungkapkan Kartini mengenai adat Jawa terutama konsep pingitan bagi kaum perempuan. Bahkan ia pun mengkritisi soal agama kalau hanya digunakan sebagai dalil untuk berpoligami kaum laki-laki.
Pendidikan bagi Kartini sangat penting untuk kaumnya supaya dapat menghilangkan paradigma yang mengatakan bahwa perempuan hanya bisa macak (berdandan), manak (beranak), masak (memasak). Akan tetapi perempuan pun bisa seperti laki-laki asalkan mendapat pendidikan yang sama.
Pemikirannya mengenai pendidikan pada waktu itu juga tidak terlepas
dari giatnya ia membaca tokoh-tokoh perempuan Eropa lewat Majalah maupun
buku-buku. Dari situlah, ia dapat mengambil kesimpulan perempuan pun bisa maju
asalkan ada akses untuk membuatnya maju. Jalan satu-satunya pada waktu itu
ialah dengan pendidikan.
Oleh karena itu, pendidikan menjadi kunci utama untuk memajukan kaum perempuan pada waktu itu supaya tidak semakin tertindas dan terpuruk. Padahal, seperti apa yang disampaikan Maria Walanda Maramis di awal bahwa di pundak perempuan tergantung masa depan seorang anak.
Sehingga perempuan mau tidak mau harus menjadi manusia yang terdidik, supaya perempuan tidak gampang untuk dibodohi kaum laki-laki. Jadi, selayaknya kaum perempuan sekarang ini berterimakasih kepada para pejuang mereka dan salah satunya Raden Adjeng Kartini ini.
Selain pemikiran mengenai pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan, Kartini juga mempunyai kontribusi yang cukup besar bagi bangsa ini dalam bidang pendidikan. Salah satunya yaitu sekolah yang ia dirikan untuk kaumnya supaya perempuan pribumi dapat berfikir maju dan tidak tertindas lagi.
Kontribusi tersebut cukuplah besar pada masa itu, jika melihat situasi dan kondisi dimana saat itu akses kaum perempuan untuk mendapatkan pendidikan sangat minim. Membangun sekolah atau pun memberi pendidikan pada masa-masa sulit seperti dulu merupakan sebuah gerakan atau tindakan yang bisa dikatakan sebagai bentuk revolusioner untuk melawan ketidakadilan serta penindasan dalam bentuk kasat mata. Ditambah lagi, kontribusi semacam ini akan memberi inspirasi dan semangat yang menggebu bagi generasi berikutnya untuk lebih maju dan lebih baik. Bahkan bisa melampaui apa yang telah dicapai generasi sebelumnya.
Ada banyak penghargaan yang diberikan untuk RA Kartini demi mengenang perjuangan dan jasanya. Panghargaan itu pun datang setelah ia meninggal. Bahkan, surat-surat Kartini pun menjadi sebuah buku dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang; Boeah Pikiran[6] yang diterbitkan oleh Balai pustaka. Buku tersebut mampu memberi inspirasi bagi anak bangsa untuk melanjutkan perjuangannya.
Selain buku yang menjadi inspirasi, penghargaan lain juga di berikan Presiden Soekarno sesuai Keputusan Presiden RI No. 108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, menetapkan RA Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahirnya (21 April) sebagai Hari Besar Nasional yang kemudian dikenal dengan Hari Kartini. Terlepas dari kontroversi penetapan tanggal 21 April sebagai Hari Kartini, akan tetapi patut bangsa ini menghargai jasa para pahlawannya.
Bahkan jauh sebelum itu, pada tahun 1912 di Semarang didirikan sekolah wanita oleh Yayasan Kartini yang diberinama Sekolah Kartini. Sekolah tersebut kemudian berkembang hingga Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan kota lainnya. Yayasan Kartini sendiri didirikan oleh seorang tokoh politik etis dari keluarga Van Deventer.[7]
Lebih dari itu, nama Kartini pun dijadikan nama jalan dibeberapa wilayah di negara Belanda. Misalnya seperti di Utrecht, Venlo-Belanda Selatan, di wilayah Amsterdam (Zuidoost/Bijlmer) dan Haarlem. Selain di Belanda, di Indonesia sendiri pun berjibun banyaknya nama jalan Kartini.
Penghargaan
terhadap RA Kartini tersebut menunjukkan bahwa ia sangat berkontribusi besar
terhadap bangsa ini. Untuk itu, hargailah jasa para pahlawan bangsa ini supaya
perjuangan mereka selalu menjadi inspirasi bagi generasi masa kini demi
Indonesia lebih baik.
[1]
Sebenarnya
gelar Raden Adjeng hanya berlaku sebelum menikah saja. Sedangkan Raden Ayu
merupakan gelar untuk wanita bangsawan yang menikah dengan pria bangsawan dari
keturunan generasi kedua hingga kedelapan dari seorang raja Jawa yang pernah
memerintah.
[2]
Floriberta Aning S, 100 tokoh yang mengubah indonesia; Biografi Singkat Seratus
tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah indonesia di abad 20, cet. 3(Yogyakarta:
NARASI, 2007), hal 167.
[3]
Istilah pribumi
muncul di era kolonial Hindia Belanda untuk menyebut kelompok penduduk asli
wilayah Indonesia saat ini. Kalau dalam bahasa Belanda pribumi disebut sebagai Inlander.
[4] KRM singkatan
dari gelar kebangsawanan Jawa yaitu Kanjeng Raden Mas.
[5]
Rosalin Horton dan Sally Simons, Wanita-Wanita yang Mengubah Dunia terj. Haris
Munandar(Jakarta: Esensi, 2007), hal. 214-215.
[6]
Awalnya buku
ini berjudul Door Duisternis Tot Licht. Baru pada tahun 1922
diterjemahkan dalam bahasa Melayu dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang;
Boeah Pemikiran. Kemudian tahun 1938 diterbitkan kembali dengan format yang
sedikit berbeda. Sedangkan versi terbarunya Armajin Pane menciutkan jumlah
surat Kartini hanya menjadi 87 saja karena surat lain dianggap sama.
[7]
Sitisoemandari Soeroto, hal. 433-436.
Comments