Sunan Kudus: Biografi Serta Perjuangannya



A. Biografi Singkat Sunan Kudus

Sunan Kudus dilahirkan dengan nama Jaffar Shadiq. Beliau adalah putra dari pasangan Raden Usman Hajji yang dikenal dengan sebutan Sunan Ngudung, yang merupakan seorang panglima perang Kesultanan Demak Bintoro dan Syarifah adik dari Sunan Bonang. Sunan Kudus diperkirakan lahir sekitar tahun 1450-an dan wafat sekitar tahun 1520-an. Menurut Widji Saksono, Sunan Kudus wafat tahun 1548, tetapi juga ada yang menyebut tahun 1528.

Diceritakan bahwa Sunan Ngudung adalah salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di Jawa. Ngudung adalah daerah Jipang Panolan atau sekitar utara kota Blora sekarang ini

Sunan Kudus pernah menjabat sebagai panglima perang untuk Kesultanan Demak Bintara, dan dalam masa pemerintahan Sunan Prawoto dia menjadi penasihat bagi Arya Penangsang. Selain sebagai panglima perang untuk Kesultanan Demak Bintara, Sunan Kudus juga menjabat sebagai hakim pengadilan bagi Kesultanan Demak.

Dalam beberapa riwayat diceritakan Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah bagian selatan seperti Sragen, Simo (Mungkin sekarang Boyolali) hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Namun versi cerita ini ada yang membantah, karena Sunan Kalijaga merupakan Sunan termuda dari sembilan wali. Sunan Kalijaga adalah murid Sunan Ampel. Sedangkan Sunan Kudus belum pernah diberitakan mempunyai guru di tanah jawa, apalagi berguru kepada Sunan Kalijaga.

Mengenai perjuangan Sunan Kudus dalam menyebarkan agama Islam tidak berbeda dengan para wali lainnya, yaitu senantiasa dipakai jalan kebijaksanaan, dengan siasat dan taktik yang demikian, masyarakat sekitar akhirnya dapat diajak memeluk agama Islam. Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Menara Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.

Suatu ketika, Sunan Kudus ingin mengajak masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat al-Baqarah yang berarti “sapi betina”. Untuk menghormati masyarakat penganut agama Hindu, Sunan Kudus meminta kepada masyarakat untuk tidak memotong hewan sapi dan mengganti kurban sapi dengan memotong kurban kerbau, dalam perayaan Idul Adha. Sampai saat ini masyarakat Kudus masih memegang amanat ini sehingga seni kuliner di kota Kudus banyak menggunakan daging kerbau sebagai pengganti daging sapi.

Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya. Menurut riwayat beliau juga termasuk salah seorang pujangga yang berinisiatif mengarang cerita-cerita pendek yang berisi filsafat serta berjiwa agama. Diantara buah ciptaannya yang terkenal, ialah gending maskumambang dan mijil.

Peninggalan beliau adalah Masjid Raya di kota Kudus, yaitu Masjid Al-Aqsa Kudus atau yang dikenal dengan Masjid Menara Kudus, yang menggabungkan arsitektur Islam dan Hindu. Masjid tersebut didirikan tahun 1530 dan masih bertahan hingga saat ini. Mengenai asal usul nama Kudus menurut legenda yang hidup dikalangan masyarakat setempat ialah, dahulu kala Ja’far Shoddiq Muda (Sunan Kudus) melaksanakan ibadah haji sambil menuntut ilmu di Tanah Arab dari Mekkah sampai Yerusalem/Palestina, kemudian beliau pun sempat menetap pula di sana.

Disebutkan bahwa Sunan Kudus saat itu berjasa bagi kota al-Quds Palestina karena menyembuhkan wabah penyakit di daerah tersebut lalu atas jasanya diberikan hadiah Ijazah/Prasasti yang tertulis pada batu yang ditulis dengan huruf Arab kuno, dan sekarang masih utuh terdapat di atas Mihrab Masjid Menara Kudus. Kisah yang lain menyebutkan bahwa setelah beliau selesai melakukan pengembaraan ilmiah, beliau begitu terkesan dengan kota Al-Quds itu, dan berniat untuk membuka kota di Jawa dengan nama tersebut. Akan tetapi karena lidah orang Jawa sulit untuk menyebutnya, jadi terbentuklah nama kota Kudus.

B. Ketika Sunan Kudus Menjadi Panglima Perang

Ketika Demak Bintara menyerang Majapahit untuk menuntut balas atas penyerangan Prabu Brawijaya V oleh Girindrawardhana dari Keling, Sunan Ngudung ditunjuk oleh Raden Fattah menjadi panglima perangnya. Akan tetapi Sunan Ngudung gugur di tangan Adipati Pecattanda yang dijabat oleh Raden Husein, adik Raden Fattah satu ibu dari Palembang. Oleh Karena itu jabatan panglima perang lalu diberikan kepada putra Sunan Ngudung, yaitu Ja’far Shodiq atau Sunan Kudus.

Tugas sebagai panglima perang ini pun dilaksanakan dengan baik oleh Sunan Kudus dan Demak Bintara dapat mengalahkan Majapahit.  Serangan dilakukan melalui tiga arah, yaitu dari Surabaya, Tuban lewat Babat dan jombang, terakhir dari Madiun yang bertemu dengan pasukan dari Tuban di Jombang. Dengan serangan itu pasukan Majapahit yang kesetiannya kepada Prabu Brawijaya VII sudah terbelah menjadi dua itu tidak mampu mengimbangi pasukan Demak Bintara yang dibakar dengan motivasi tinggi untuk menegakkan kerajaan Islam yang sedang berkembang pada waktu itu.

Memperoleh sukses dalam perang dengan Majapahit itu tentu sesuatu yang amat berharga bagi seluruh pasukan dan rakyat yang mendukung kerajaan Demak Bintara, khususnya bagi Sunan Kudus dan para anggota Walisongo lainnya. Sebelum Majapahit dapat ditaklukkan tahun 1517, Demak Bintara pernah mengirim pasukan ke Malaka untuk mengusir bangsa Portugis.

Serangan ke Malaka itu atas permintaan bantuan dari Sultan Malaka dan Sultan Samudra Pasai. Panglima perangnya adalah putera mahkota Adipati Yunus, dan terjadi pada tahun 1512. Sayang serangan itu mengalami kegagalan karena bangsa Portugis dilengkapi dengan persenjataan modern. Sedangkan pasukan Demak Bintara sendiri masih menggunakan persenjataan konvensional.

C. Daftar Pustaka

Ridwan, Mohammad, Kisah Walisongo, Surabaya: Bintang Usaha Jaya, 1985.
Said, Nur, S.Ag., M.A., M.Ag.,  Jejak Perjuangan Sunan Kudus Dalam Membangun Karakter Bangsa. Bandung: Brillian Media Utama, 2010.
Salam, Solichin, Ja’far Shodiq; Sunan Kudus, Kudus: Menara Kudus, 1986.
Simon, Hasanu, Prof., Dr., Misteri Syekh Siti Jenar; Peran Walisongo dalam Mengislamkan Tanah Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Syamsuri, Baidlowi, Kisah Walisongo; Penyebaran Islam di Jawa, Surabaya: Apollo, 1995.

Comments

Popular posts from this blog

Maria Walanda Maramis (1872-1924)

Rahasia Hidup Bahagia Tanpa Mengeluh

Panduan Mudah Belajar Numerologi